Lalu Siapa yang Abadi ?
Adanya langkah pelampauan sampai pada satu titik dimana tauhid (penyatuan) bisa dicapai, terungkap dalam pernyataan Nabi Ibrahim AS. di dalam surat Al Anam yang secara metaforis diungkapkan dalam bentuk bintang, bulan, dan matahari.
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi, dan supaya ia termasuk orang-orang yang yakin.
Maka tatkala malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) ia berkata, Inilah Tuhanku. Maka tatkala bintang itu hilang dia berkata, Aku tidak suka kepada yang hilang.
Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit, dia berkata, Inilah Tuhanku. Maka tatkala bulan itu terbenam dia berkata, Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberikan petunjuk kepadaku niscaya aku termasuk kaum yang sesat.
Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar! Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata, Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.
( Surah Al-Anam [6] : 75-78 )
Bintang metafora pertama- melambangkan petunjuk atau cahaya indera seseorang yang mencari ilmu atau pengetahuan tentang kebenaran melalui sarana indera. Dahulu para pelaut menjadikan bintang-bintang di langit sebagai petunjuk arah ketika mereka berlayar. Bintang tak ubahnya seperti cahaya panca indera dalam diri manusia. Namun dengan cahaya indera ini seseorang takkan bisa mencapai kepada hakikat Ilahiah.
Metafora kedua bulan- adalah simbol cahaya akal. Dengan akal yang dibimbing oleh petunjuk atau cahaya syariat seseorang dapat dekat pada kebenaran dan kebajikan. Dengan cahaya akal ini seseorang dapat mengungkap rahasia-rahasia Ilmu Allah, yang dapat ia buktikan dan saksikan lewat fenomena alam. Dan keadaan ini akan membawanya kepada keyakinan yang lebih jauh terhadap kebenaran, meskipun dengan cahaya ini seseorang belum juga sanggup mencapai makrifat hakiki akan Tuhan.
Matahari metafora ketiga- melambangkan cahaya Suci atau cahaya Al Haqq yang menerangi hati manusia, sehingga seseorang yang mengalami keadaan ini memperoleh limpahan atau pelekatan sifat-sifat Allah ke dalam dirinya. Lewat cahaya Suci ini seseorang mengalami penyingkapan hati dan mata batinnya menyaksikan supremasi Tuhan dalam kekuasaan dan ilmu-Nya. Akan tetapi pada gilirannya keadaan ini menunjukkan keberagaman (katsrah). Dalam cara yang sama, keberagaman dapat dilihat pada gagasan mengenai tempat bersandar dan yang bersandar, atau pada yang Ridha dan yang diridhai. Dan ini menunjukkan adanya jarak antara keberagaman dan tauhid (kesatuan).
Keadaan ini sebagaimana dinyatakan Nabi Ibrahim AS. sendiri, Inikah Tuhanku? Pernyataan dalam bentuk pertanyaan ini muncul pada tiga waktu yang berbeda, suatu pertanyaan yang sebenarnya bertujuan untuk menyatakan pengingkaran. Maksudnya, seolah-olah Nabi Ibrahim AS. berkata, Ini adalah sesuatu yang diciptakan, suka terbenam dan hilang, lalu pantaskah ia menjadi Tuhanku dan Tuhan sekalian alam? Tidak, demi Allah, ini tidaklah mungkin. Ini bukanlah Tuhanku dan Tuhan sekalian alam, tetapi ini semua perwujudan dari hakikat Tuhanku. Atau ia bisa juga mengatakan, Apakah dengan cahaya panca indera, cahaya akal, dan cahaya Suci (cahaya Al Haqq). aku akan jadi tahu Tuhanku? Tidak, demi Allah, ini tidaklah mungkin Bahkan kita takkan pernah bisa mengenal-Nya kecuali dengan melintasi dan melampaui tiga cahaya itu. Sebab tak mungkin mencapai makrifat hakiki akan dzat-Nya, kecuali dengan dzat-Nya.
Disebutkan Nabi saw. bersabda, Aku telah mengenal Tuhanku melalui Tuhanku. Perumpamaan seseorang yang berusaha mencapai makrifat Tuhan dengan menggunakan cahaya Suci adalah seperti orang menyaksikan matahari dengan cahaya matahari. Jelas bahwa yang disaksikannya benar-benar matahari dan cahayanya yang tersebar ke seluruh penjuru arah, sekalipun penyaksiannya masih membedakan antara penyaksi (cahaya matahari) dengan yang disaksikan (matahari itu sendiri) bukan penyaksian ke-esa-an murni akan Tuhan.
Makna mendalam yang ingin diungkapkan di sini adalah bahwa seperti halnya orang baru bisa melihat matahari dan cahayanya setelah ia menghubungkan diri dengan matahari berdasarkan kesucian dan cahaya- begitu pula, orang baru bisa menyaksikan Yang Maha Nyata setelah berupaya menjalin hubungan antara dirinya dengan Dia, dengan cara membebaskan diri dari selain-Nya dan membenarkan keagungan-Nya secara mutlak di atas semua ciptaannya.
Ketika Allah mengungkapkan diri-Nya (tajalli) atau dzat-Nya ke dalam hati seorang hamba, maka yang diungkapkan adalah esensi-Nya, yaitu berupa nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya bukan wujud-Nya yang mutlak. Sebab wujud-Nya yang mutlak sesungguhnya tidak bersifat atau tidak terlukiskan sama sekali. Dzat-Nya adalah Wujud Mutlak, yang ke-esa-an-Nya tak lain adalah dzat-Nya sendiri, sedangkan apapun selain wujud-Nya adalah ketiadaan mutlak. Tajalli dalam bentuk nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya harus dipahami sebagai keadaan dimana wujud-Nya memberi identitas atau memberi sifat kepada esensi-Nya. Sehingga lewat nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya itu Dia dapat disaksikan. Jadi Esensi menjadi tumpuan atau pijakan Wujud. Dengan kata lain, pengungkapan ke-esa-an Allah ke dalam hati seorang hamba, adalah pengungkapan diri Yang Maha Nyata dari kehadiran ke-esa-an dzat-Nya yang mutlak tanpa ada sifat atau lukisan apapun yang dapat melukiskannya- ke kehadiran ke-esa-an-Nya yang terlukiskan oleh sifat-sifat dan nama-nama-Nya sebagaimana Dia informasikan di dalam Al Quran dan Sunnah. Coba perhatikan dengan baik kalimat terakhir ini, karena dengan memahami ini akan memudahkan pemahaman kita selanjutnya.
Pengungkapan diri-Nya ini juga menandai munculnya sifat-sifat mengetahui dan menerima dari-Nya, sebab berbagai hakikat (di dalam ilmu-Nya) yang tersembunyi di balik ke-esa-an dzat-Nya yang mutlak, merupakan obyek pengetahuan-Nya, dan yang menerima pelimpahan wujud ke alam nyata (fenomenal) dimana hati seorang hamba mengalami penyingkapan (kasyf).
Gambaran keadaan ini dapat kita lihat dalam surat Al Arf [7] ayat 172,
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menjadikan keturunan Bani Adam dari tulang sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian atas diri (nafs) mereka, Bukankah Aku ini Rabb (Tuhan)-mu?. Mereka menjawab, Betul, kami menjadi saksi. Yang demikian supaya kamu tidak mengatakan di hari kiamat, Sesungguhnya kami lalai tentang hal ini.
Inilah keadaan dimana jiwa (nafs) menyaksikan kehadiran-Nya (Rabb), yang adalah bentuk-bentuk rasional dari nama-nama-Nya atau kehadiran ke-esa-an-Nya yang tersifati oleh nama-nama-Nya. Sebagaimana kita tahu kata rabb mengacu pada pengertian; pencipta, pengatur, pemelihara dan pendidik. Dengan demikian, hakikat-hakikat di dalam ilmu-Nya yang tadinya tersembunyi di balik ke-esa-an dzat-Nya yang mutlak (di alam non-eksistensi) kemudian aktual dan mewujud dalam alam fenomenal.
Namun demikian, sekali lagi, keadaan ini menunjukkan jiwa (nafs) yang menyaksikan lewat mata hati yang mengalami penyingkapan (kasyf), dan bukan kemusnahan (fana) di dalam-Nya. Begitu pula apa yang disaksikan adalah, kehadiran ke-esa-an-Nya dalam perwujudan-perwujudan yang beragam (sifat-sifat dan nama-nama-Nya), dan bukan kemanunggalan dan kemandirian dzat-Nya yang mutlak (hilangnya selubung-selubung kemegahan Ilahi dan kekuasan-Nya, atau yang dalam istilah Mulla Shadra disebut, Perbedaan Wujud kembali kepada persamaannya).
Semua yang ada di bumi ini akan binasa. Dan tetap kekal wajah Tuhan-mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
(Surat Ar Rahman/ 55,ayat : 26-27)
Kemusnahan (fana) di dalam-Nya, diisyaratkan di dalam surat Al Arf [7] ayat 143, yang secara metaforis diungkapkan dengan pecahnya bukit dan pingsannya Nabi Musa as.
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan, dan Tuhan berkata-kata dengannya, Musa berkata, Ya Tuhanku, perlihatkanlah (diri-Mu). Tuhan berfirman, Kamu tidak sanggup melihat-Ku, tetapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya, maka nanti kamu akan dapat melihat-Ku. Maka setelah Tuhan memperlihatkan (kebesaran) diri-Nya di bukit itu, Allah menjadikannya pecah dan Musa jatuh pingsan. Setelah Musa sadar kembali, dia berkata, Mahasuci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu dan aku orang yang pertama-tama beriman.
Ketika Allah memperlihatkan kebesaran-Nya di bukit itu, ini mengungkapkan kehadiran ke-esa-an-Nya dalam sifat-sifat dan nama-nama-Nya (perwujudan yang beragam) yang dapat disaksikan oleh hati yang mengalami penyingkapan. Dan saat bukit itu pecah (Allah yang menjadikannya pecah), itu menunjukkan musnahnya selubung kebesaran-Nya, kembalinya keragaman kepada ketunggalan dan kemandirian dzat-Nya yang tak bersifat atau tak terlukiskan. Dzat-Nya adalah Wujud Mutlak, dan ke-esa-an-Nya tak lain adalah dzat-Nya itu sendiri, sedang selain wujud-Nya hanyalah ketiadaan. Bersamaan dengan itu pingsanlah Nabi Musa as. Pingsannya Nabi Musa adalah simbol dari kemusnahan jiwa, bukan kemusnahan aktual melainkan kemusnahan dalam makrifat. Sirna di dalam dzat-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis Nabi saw. : Matilah kamu sebelum datang kematian-mu. Dan inilah yang dimaksud dengan fana di dalam diri-Nya.
Dan ketika Musa as. kembali terjaga, setelah mengalami keadaan di atas, sadarlah ia bahwa apa yang selama ini ia pahami tentang hakikat Allah, apa yang sebelum ini ada dalam pikirannya tentang wujud-Nya yang mutlak, bukanlah hakikat dzat-Nya yang sesungguhnya. Mahasuci Dia dari segala apa yang disifatkan dan dilukiskan, karena dzat-Nya tidak dapat dilukiskan, Dia bukan ini, bukan itu, bukan apa pun yang bisa dibayangkan.
Fana di dalam dzat-Nya yang Maha Mutlak, adalah maqam penyingkapan Esensi Hakiki, penyingkapan seseorang dari selubung-selubung kemegahan dan kekuasaan-Nya, dan hilangnya segala selubung selain Tuhan. Mereka yang berada pada maqam ini adalah mereka yang melampaui penyaksian kehadiran Allah dalam perwujudan-perwujudan beragam. Tidak ada sesuatupun kecuali Dia. Semua adalah Dia, karena Dia, dari Dia, dan kepada-Nya. Tanda kemusnahan di dalam diri-Nya, adalah kukuhnya seseorang di dalam maqam istiqomah (keteguhan) dan maqam tamkn (keajegan), sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya,
Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang-orang yang telah taubat bersama kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
(Surat Huud [11] : 112)
Ada perbedaan antara manusia yang terus meng-ada dengan dirinya sendiri dengan manusia yang telah luluh di dalam diri Tuhannya.
Akhirnya, sampailah bagi saya untuk menghentikan pembahasan mengenai keadaan fana ini, dan saya berharap semoga Allah membukakan hati dan pikiran kita semua untuk dapat menerima limpahan ilmu-Nya yang bermanfaat. Allah Maha Mengetahui dan Mahabijaksana. Dialah yang mengatakan kebenaran dan menuntun ke jalan yang benar. (Laut itu tetaplah laut yang sebelumnya; kejadian hari ini hanyalah ombak dan gelombang air)
Ўªª ALLAH ......ampunilah segala kesalahanku dan bukalah hijab ini agar bisa memahami ilmu Engkau.................آمِّيْنَ
Rabu, 10 September 2014
Jumat, 05 September 2014
Bahan Renungan ( hasil copy paste dari ki sabda )
LAKSITA JATI
Ilmu
yang mengajarkan tata cara menghargai diri sendiri, dengan “laku” batin
untuk mensucikan raga dari nafsu angkara murka (amarah), nafsu mengejar
kenikmatan (supiyah), dan nafsu serakah (lauwamah). Pribadi membangun
raga yang suci dengan menjadikan raga sebagai reservior nafsul mutmainah. Agar supaya jika manusia mati, raganya dapat menyatu dengan “badan halus” atau ruhani atau badan sukma.
Hakikat kesucian, “badan wadag” atau raga tidak boleh pisah dengan “badan halus”, karena raga dan sukma menyatu (curigo manjing warongko)
pada saat manusia lahir dari rahim ibu. Sebaliknya, manusia yang
berhasil menjadi kalifah Tuhan, selalu menjaga kesucian (bersih dari
dosa), jika mati kelak “badan wadag” akan luluh melebur ke dalam “badan
halus” yang diliputi oleh kayu dhaim, atau Hyang Hidup yang
tetap ada dalam diri kita pribadi, maka dilambangkan dengan “warongko
manjing curigo”. Maksudnya, “badan wadag” melebur ke dalam “badan
halus”. Pada saat manusia hidup di dunia (mercapada), dilambangkan
dengan “curigo manjing warongko”; maksudnya “badan halus” masih berada
di dalam “badan wadag”. Maka dari itu terdapat pribahasa sebagai
berikut:
“Jasad
pengikat budi, budi pengikat nafsu, nafsu pengikat karsa (kemauan),
karsa pengikat sukma, sukma pengikat rasa, rasa pengikat cipta, cipta
pengikat penguasa, penguasa pengikat Yang Maha Kuasa”.
Sebagai contoh :
Jasad
jika mengalami kerusakan karena sakit atau celaka, maka tali pengikat
budi menjadi putus. Orang yang amat sangat menderita kesakitan tentu
saja tidak akan bisa berpikir jernih lagi. Maka putuslah tali budi
sebagai pengikat nafsu. Maka orang yang sangat menderita kesakitan,
hilanglah semua nafsu-nafsunya; misalnya amarah, nafsu seks, dan nafsu
makan. Jika tali nafsu sudah hilang atau putus, maka untuk
mempertahankan nyawanya, tinggal tersisa tali karsa atau
kemauan. Hal ini, para pembaca dapat menyaksikan sendiri, setiap orang
yang menderita sakit parah, energi untuk bertahan hidup tinggalah
kemauan atau semangat untuk sembuh. Apabila karsa atau kemauan, dalam
bentuk semangat untuk sembuh sudah hilang, maka hilanglah tali pengikat
sukma, akibatnya sukma terlepas dari “badan wadag”, dengan kata lain
orang tersebut mengalami kematian. Namun demikian, sukma masih mengikat
rasa, dalam artian sukma sebenarnya masih memiliki rasa, dalam bentuk rasa sukma yang berbeda dengan rasa ragawi. Bagi penganut kejawen percaya dengan rasa sukma
ini. Maka di dalam tradisi Jawa, tidak boleh menyianyiakan jasad orang
yang sudah meninggal. Karena dipercaya sukmanya yang sudah keluar dari
badan masih bisa merasakannya. Rasa yang dimiliki sukma
ini, lebih lanjut dijelaskan karena sukma masih berada di dalam dimensi
bumi, belum melanjutkan “perjalanan” ke alam barzah atau alam ruh.
Rahsa
atau rasa, merupakan hakikat Dzat (Yang Maha Kuasa) yang mewujud ke
dalam diri manusia. Dzat adalah Yang Maha Tinggi, Yang Maha Kuasa, Tuhan
Sang Pencipta alam semesta. Urutan dari yang tertinggi ke yang lebih
rendah adalah sebagai berikut;
- Dzat (Dzatullah) Tuhan Yang Maha Suci, meretas menjadi;
- Kayu Dhaim (Kayyun) Energi Yang Hidup, meretas menjadi;
- Cahya atau cahaya (Nurullah), meretas menjadi;
- Rahsa atau rasa atau sir (Sirrullah), meretas menjadi ;
- Sukma atau ruh (Ruhullah).
No
1 s/d no 5 adalah retasan dari Dzat, Tuhan Yang Maha Kuasa, maka ruh
bersifat abadi, cahaya bersifat mandiri tanpa perlu bahan bakar. Ruh
yang suci yang akan melanjutkan “perjalanannya” menuju ke haribaan
Tuhan, dan akan melewati alam ruh atau alam barzah, di mana suasana
menjadi “jengjem jinem” tak ada rasa lapar-haus, emosi, amarah, sakit, sedih, dsb. Sebelum masuk ke dimensi barzah, ruh melepaskan tali rasa, kemudian ruh masuk ke dalam dimensi alam barzah menjadi hakikat cahaya tanpa rasa, dan tanpa karsa. Yang ada hanyalah ketenangan sejati, manembah kepada gelombang Dzat, lebur dening pangastuti.
KONSEP ARWAH PENASARAN
Sebaliknya ruh yang masih berada di dalam dimensi gaibnya bumi, masih memiliki tali rasa,
misalnya rasa penasaran karena masih ada tanggungjawab di bumi yang
belum terselesaikan, atau jalan hidup, atau “hutang” yang belum
terselesaikan, menyebabkan rasa penasaran. Oleh karena itu dalam konsep
Kejawen dipercaya adanya arwah penasaran, yang masih berada di dalam
dimensi gaibnya bumi. Sehingga tak jarang masuk ke dalam raga orang lain
yang masih hidup yang dijadikan sebagai media komunikasi, karena
kenyataan bahwa raganya sendiri telah rusak dan hancur. Itulah sebabnya
mengapa di dalam ajaran Kejawen terdapat tata cara “penyempurnaan” arwah
(penasaran) tersebut.
JALAN SETAPAK MERAIH KESUCIAN
(Jihad/Perang Baratayudha/Perang Sabil)
Mati penasaran, kebalikan dari mati sempurna. Dalam kajian Kejawen, mati dalam puncak kesempurnaan adalah mati moksa atau mosca atau mukswa.
Yakni warangka (raga) manjing curigo (ruh). Raga yang suci, adalah yang
tunduk kepada kesucian Dzat yang terderivasi ke dalam ruh. Ruh suci/roh
kudus (ruhul kuddus) sebagai retasan dari hakikat Dzat, memiliki 20
sifat yang senada dengan 20 sifat Dzat, misalnya kodrat, iradat,
berkehendak, mandiri, abadi, dst. Sebaliknya, ruh yang tunduk kepada
raga hanya akan menjadi budak nafsu duniawi, sebagaimana sifat hakikat
ragawi, yang akan hancur, tidak abadi, dan destruktif. Menjadi raga yang
nista, berbanding terbalik dengan gelombang Dzat Yang Maha Suci. Oleh
karena itu, menjadi tugas utama manusia, yakni memenangkan perang Baratayudha di Padang Kurusetra, antara Pendawa (kebaikan yang lahir dari akal budi dan panca indera) dengan musuhnya Kurawa (nafsu angkara murka). Perang inilah yang dimaksud pula dalam ajaran Islam sebagai Jihad Fii Sabilillah, bukan perang antar agama, atau segala bentuk terorisme.
Adapun
ajaran untuk menggapai kesucian diri, atau Jihad secara Kejawen, yakni
mengendalikan hawa nafsu, serta menjalankan budi (bebuden) yang luhur
nilai kemanusiannya (habluminannas) yakni ; rela (rilo), ikhlas (legowo), menerima/qonaah (narimo ing pandum), jujur dan benar (temen lan bener), menjaga kesusilaan (trapsilo) dan jalan hidup yang mengutamakan budi yang luhur (lakutama). Adalah pitutur sebagai pengingat-ingat agar supaya manusia selalu eling atau selalu mengingat Tuhan untuk menjaga kesucian dirinya, seperti dalam falsafah Kejawen berikut ini :
“jagad
bumi alam kabeh sumurupo marang badan, badan sumurupo marang budi, budi
sumurupo marang napsu, napsu sumurupo marang nyowo, nyowo sumurupo
marang rahso, rahso sumurupo marang cahyo, cahyo sumurupo marang atmo,
atmo sumurupo marang ingsun, ingsun jumeneng pribadi”
(jagad
bumi seisinya pahamilah badan, badan pahamilah budi, budi pahamilah
nafsu, nafsu pahamilah nyawa, nyawa pahamilah karsa, karsa pahamilah
rahsa, rahsa pahamilah cahya, cahya pahamilah Yang Hidup, Yang Hidup
pahamilah Aku, Aku berdiri sendiri (Dzat).
Artinya, bahwa manusia sebagai derivasi terakhir yang berasal dari Dzat Sang Pencipta harus (wajib) memiliki kesadaran mikrokosmis dan makrokosmis yakni “sangkan paraning dumadi” serta tunduk, patuh dan hormat (manembah) kepada Dzat Tuhan Pencipta jagad raya.
Selain
kesadaran di atas, untuk menggapai kesucian manusia harus tetap berada
di dalam koridor yang merupakan “jalan tembus” menuju Yang Maha Kuasa.
Adalah 7 perkara yang harus dicegah, yakni;
1. Jangan ceroboh, tetapi harus rajin sesuci.
2. Jangan mengumbar nafsu makan, tetapi makanlah jika sudah merasa lapar.
3. Jangan kebanyakan minum, tetapi minum lah jika sudah merasa haus.
4. Jangan gemar tidur, tetapi tidur lah jika sudah merasa kantuk.
5. Jangan banyak omong, tetapi bicara lah dengan melihat situasi dan kondisi.
6. Jangan mengumbar nafsu seks, kecuali jika sudah merasa sangat rindu.
7. Jangan
selalu bersenang-senang hati dan hanya demi membuat senang orang-orang,
walaupun sedang memperoleh kesenangan, asal tidak meninggalkan duga
kira.
Demikian pula, di dalam hidup ini jangan sampai kita terlibat dalam 8 perkara berikut;
1. Mengumbar hawa nafsu.
2. Mengumbar kesenangan.
3. Suka bermusuhan dan tindak aniaya.
4. Berulah yang meresahkan.
5. Tindakan nista.
6. Perbuatan dengki hati.
7. Bermalas-malas dalam berkarya dan bekerja.
8. Enggan menderita dan prihatin.
Sebab
perbuatan yang jahat dan tingkah laku buruk hanya akan menjadi aral
rintangan dalam meraih rencana dan cita-cita, seperti digambarkan dalam
rumus bahasa berikut ini;
1. Nistapapa; orang nista pasti mendapat kesusahan.
2. Dhustalara; orang pendusta pasti mendapat sakit lahir atau batin.
3. Dorasangsara; gemar bertikai pasti mendapat sengsara.
4. Niayapati; orang aniaya pasti mendapatkan kematian.
PERBUATAN, PASTI MENIMBULKAN “RESONANSI”
Demikian lah, sebab pada dasarnya perilaku hidup itu ibarat suara yang kita kumandang akan menimbulkan gema,
artinya apapun perbuatan kita kepada orang lain, sejatinya akan
berbalik mengenai diri kita sendiri. Jika perbuatan kita baik pada orang
lain, maka akan menimbulkan “gema” berupa kebaikan yang lebih besar
yang akan kita dapatkan dari orang lainnya lagi. Hal ini dapat dipahami
sebagaimana dalam peribahasa;
Barang siapa menabur angin, akan menuai badai,
Siapa menanam, akan mengetam,
Barang siapa gemar menolong, akan selalu mendapatkan kemudahan,
Barang siapa gemar sedekah kepada yang susah, rejekinya akan menjadi lapang.
Orang pelit, pailit
Pemurah hati, mukti
PERILAKU TAPA BRATA
Idealnya, setiap orang sepanjang hidupnya dapat melaksanakan “tapa brata” atau mesu-budi, menahan hawa nafsu, yg mempunyai kesamaan dengan hakikat puasa seperti di bawah ini;
1. Tapa/puasanya badan/raga; harus anoraga; rendah hati; gemar berbuat baik.
2. Tapa/puasanya hati; nerima apa adanya; qonaah; tak punya niat/prasangka buruk, tidak iri hati.
3. Tapa/puasanya nafsu; ikhlas dan sabar dalam menerima musibah, serta memberi maaf kepada orang lain.
4. Tapa/puasanya sukma; jujur.
5. Tapa/puasanya rahsa; mengerem sembarang kemauan, serta kuat prihatin dan menderita.
6. Tapa/puasanya cahya; eneng-ening; tirakat atau bertapa dalam keheningan, kebeningan, dan kesucian.
7. Tapa/puasanya hidup (gesang); eling (selalu ingat/sadar makro-mikrokosmos) dan selalu waspada dari segala perilaku buruk.
Selain itu, anggota badan (raga) juga memiliki tanggungjawab masing-masing sebagai wujud dari hakikat puasa atau tapa brata ;
1. Tapa/puasanya netro/mata; mencegah tidur, dan menutup mata dari nafsu selalu ingin memiliki/menguasai.
2. Tapa/puasanya karno/telinga; mencegah hawa nafsu, enggan mendengar yang tak ada manfaatnya atau yang buruk-buruk.
3. Tapa/puasanya grono/hidung; mencegah sikap gemar membau, dan enggan “ngisap-isap” keburukan orang lain.
4. Tapa/puasanya lisan/mulut; mencegah makan, dan tidak menggunjing keburukan orang lain.
5. Tapa/puasanya puruso/kemaluan; mencegah syahwat, tidak sembarangan ngentot/rakit/ngewe/senggama/zina.
6. Tapa/puasanya asto/tangan; mencegah curi-mencuri, rampok, nyopet, korupsi, dan tidak suka cengkiling; jail dan menyakiti orang lain.
7. Tapa/puasanya suku/kaki;
mencegah langkah menuju perbuatan jahat, atau kegiatan negatif, tetapi
harus gemar berjalan sembari “semadi” yakni berjalan sebari eling lan waspodo.
Tapa/maladihening/mesu
budi/puasa seperti di atas dapat diumpamakan dalam gaya bahasa
personifikasi, yang memiliki nilai falsafah yang sangat tinggi dan
mendalam sbb;
“Katimbang
turu, becik tangi. Katimbang tangi, becik melek. Katimbang melek, becik
lungguh. Katimbang lungguh, becik ngadeg. Katimbang ngadeg, becik
lumakuo”.
(Daripada
tidur lebih baik bangun. Daripada bangun lebih baik melek. Daripada
melek lebih baik duduk. Daripada duduk lebih baik berdiri. Daripada
berdiri lebih baik melangkah lah)
Untuk meraih kesempurnaan dalam melaksanakan tata laku di atas, hendaknya setiap langkah kita selalu eling dan waspada. Agar supaya setelah menjadi manusia pinunjul tidak menjadi sombong dan takabut, sebaliknya justru harus disembunyikan semua kelebihan tersebut,
dan tidak kentara oleh orang lain, sehingga setiap jengkal kelemahan
tidak memancing hinaan orang lain. Untuk itu manusia pinunjul harus;
1. Solahbawa, harga diri, perbuatan, harus selalu di jaga
2. Keluarnya ucapan harus dibuat yang mendinginkan, menyejukkan, dan menentramkan lawan bicara
3. Raut wajah yang manis, penuh kelembutan dan kasih sayang.
Inilah
sejatinya tata krama dalam ajaran Kejawen. Kesempurnaan dalam
melaksanakan langkah-langkah di atas, seyogyanya menimbang situasi dan
kondisi, menimbang waktu dan tempat secara tepat, tidak asal-asalan.
Karena sekalipun “isi”nya berkualitas, tetapi bungkusnya jelek, maka
“isi”nya menjadi tidak berharga. Dengan kata lain, jangan mengabaikan (dugoprayoga)
duga kira, bagaimana seharusnya yang baik. Sebab sesempurnanya manusia
tetap memiliki kekurangan atau kelemahan, sehingga manakala kelemahan
dan kekurangan tersebut diketahui orang lain tidak akan menjadi “batu
sandungan”. Seperti dalam ungkapan sebagai berikut;
1. Kusutnya pakaian; tertutup oleh derajat (harga diri) yang luhur.
2. Terpelesetnya lidah, tertutup oleh manisnya tutur kata.
3. Kecewanya warna, tertutup oleh budi pekerti.
4. Cacadnya raga, tertutup oleh air muka yang ramah.
5. Keterbatasan, tertutup oleh sabar dan bijaksana.
Oleh karena itu, meraih kesempurnaan dalam konteks ini diartikan kesempurnaan dalam melaksanakan tapa brata.
Kegagalan melaksanakan tapa brata, dapat membawa manusia kepada zaman
“paniksaning gesang” tidak lain adalah nerakanya dunia, seperti di bawah
ini;
1. Zamannya kemelaratan, dimulai dari perilaku boros
2. Zamannya menderita aib, dimulai dari watak lupa terlena, tanpa awas.
3. Zamannya kebodohan, dimulai dari sikap malas dan enggan.
4. Zamannya angkara, dimulai dengan sikap mau menang sendiri
5. Zamannya sengsara, dimulai dari perilaku yang kacau.
6. Zamannya penyakit, diawali dari kenyang makan.
7. Zamannya kecelakaan, diawali dari perbuatan mencelakai orang lain.
Sebaliknya, “ganjaraning gesang” atau “surganya dunia”, lebih dari sekedar kemuliaan hidup itu sendiri, yakni;
1. Zamannya keberuntungan, awalnya dari sikap hati-hati, tidak ceroboh.
2. Zamannya kabrajan, awalnya dari budi luhur dan belas kasih.
3. Zamannya keluhuran, awalnya dari giat andap asor, sopan santun.
4. Zamannya kebijaksanaan, awalnya dari telaten bibinau.
5. Zamannya kesaktian (kasekten), awalnya dari puruita dan tapabrata.
6. Zamannya karaharjan (ketentraman-keselamatan), awalnya dari eling dan waspada.
7. Zamannya kayuswan (umur panjang), awalnya sabar, qonaah, narimo, legowo, tapa.
SHALAT/SEMBAHYANG DHAIM
Sebagai tulisan penutup, Sabdalangit
berusaha memaparkan garis besar TAPA BRATA, agar supaya mudah diingat
dan gampang dicerna bagi para pembaca yang masih awam tentang ajaran
Kejawen.
Selain dipaparkan di atas, sejalan dengan bertambahnya usia, seyogyanya hidup itu sembari mencari ciptasasmita, “tuah” atau petunjuk yang tumbuh jiwa yang matang dan dari dalam lubuk budi yang suci. Pada dasarnya, tumbuhnya budipekerti (bebuden) yang luhur, berasal dari tumbuhnya rasa eling, tumbuhnya kebiasaan tapa, tumbuhnya sikap hati-hati, tumbuhnya “tidak punya rasa punya”, tumbuhnya kesentausaan, tumbuhnya kesadaran diri pribadi, tumbuhnya “lapang dada”, tumbuhnya ketenangan batin, tumbuhnya sikap manembah (tawadhu’).
Pertumbuhan itu berkorelasi positif atau sejalan dengan usia seseorang.
Akan
tetapi, jika semakin lanjut usia seseorang akan tetapi perkembangannya
berbanding terbalik, mempunyai korelasi negatif, yakni justru memiliki
tabiat dan karakter seperti anak kecil, ia merupakan produk topobroto
yang gagal. Untuk mencegahnya tidak lain harus selalu mencegah hawa
nafsu, serta mengupayakan dengan sungguh-sungguh untuk meraih
kesempurnaan ilmu. Begitu pentingnya hingga adalah “wewarah” yang juga
merupakan nasehat yang hiperbolis, sbb;
“ageng-agenging
dosa punika tiyang ulah ilmu makripat ingkang magel. Awit saking dereng
kabuko ing pambudi, dados boten superep ing suraosipun”
Bagi yang sudah lulus, dapat menerima semua ilmu, tentu akan menemui kemuliaan “sangkan paran ing dumadi”.
Siapa yang sunguh-sungguh mengetahui Tuhannya, sesungguhnya dapat
mengetahui di dalam badanya sendiri. Siapa yang sungguh-sunggun
mengetahui badannya sendiri, sesungguhnya mengetahui Tuhannya. Artinya
siapa yang mengetahui Tuhannya, ia lah yang mengetahui semua ilmu kajaten
(makrifat). Siapa yang sunguh-sungguh mengetahui sejatinya badannya
sendiri, ia lah yang dapat mengetahui akan hidup jiwa raganya sendiri.
Kita harus selalu ingat bahwa hidup ini tidak akan menemui sejatinya
“ajal”, sebab kematian hanyalah terkelupasnya isi dari kulit. “Isi”
badan melepas “kulit” yang telah rusak, kemudian “isi” bertugas
melanjutkan perjalanan ke alam keabadian. Hanya raga yang
suci yang tidak akan rusak dan mampu menyertai perjalanan “isi”. Sebab
raga yang suci, berada dalam gelombang Dzat Illahi yang Maha Abadi.
Maka
dari itu, jangan terputus dalam lautan “manembah” kepada Gusti Pangeran
Ingkang Sinembah. Agar supaya menggapai “peleburan” tertinggi, lebur dening pangastuti; yakni raga dan jiwa melebur ke dalam Cahaya yang Suci; di sanalah manusia dan Dzat menyatu dalam irama yang sama; yakni manunggaling kawulo gusti.
Dengan sarana selalu mengosongkan panca indra, serta menyeiramakan diri
pada Sariraning Bathara, Dzat Yang Maha Agung, yang disebut sebagai
“PANGABEKTI INGKANG LANGGENG” (shalat dhaim) sujud, manembah (shalat)
tanpa kenal waktu, sambung-menyambung dalam irama nafas, selalu eling
dan menyebut Dzat Yang serba Maha. Adalah ungkapan;
“salat
ngiras nyambut damel, lenggah sinambi lumampah, lumajeng salebeting
kendel, ambisu kaliyan wicanten, kesahan kaliyan tilem, tilem kaliyan
melek.
(sembahyang
sambil bekerja, duduk sambil berjalan, berjalan di dalam diam, membisu
dengan bicara, bepergian dengan tidur, tidur sembari melek).
Jika ajaran ini dilaksanakan secara sungguh-sungguh, berkat Tuhan Yang Maha Wisesa, setiap orang dapat meraih kesempurnaan Waluyo Jati, Paworing Kawulo Gusti, TIDAK TERGANTUNG APA AGAMANYA.
Langganan:
Postingan (Atom)