Senin, 21 Oktober 2013

Membedah Alam pikiran syech siti jenar

 Ajaran Syekh Siti Jenar dikenal sebagai ajaran ilmu kebatinan. Suatu ajaran yang menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah yang kasat mata. Intinya ialah konsep tujuan hidup. Titik akhir dari ajaran Siti Jenar ialah tercapainya manunggaling kawula-Gusti. Yaitu bersatunya antara roh manusia dengan Dzat Allah. Paham inilah yang hampir sama dengan ajaran para zuhud, wali dan orang-orang khowash. Zuhud banyak dijumpai dalam dunia tasawuf. Mereka merupakan orang-orang atau kelompok yang menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan duniawi. Sebab mereka mempunyai tujuan hidup yang lebih utama, yakni ingin mencapai kesucian jiwa atau roh.
     Inti ajaran Syeh Siti Jenar adalah pencapaian spiritualitas yang tinggi dalam penyatuan antara makhluk dengan Dzat Pencipta, yang lebih populer disebut sebagai manunggaling kawula-Gusti. Bagian-bagian dari ajaran itu adalah meliputi penguasaan hidup, pengetahuan tentang pintu kehidupan, tentang kematian, tempat kelak sesudah ajal, hidup kekal tak berakhir, dan tentang kedudukan Yang Mahaluhur. Paham yang hampir senada dengan falsafah Jawa kuno.
Suatu ketika Syeh Siti Jenar mengajarkan ilmu kepada para murid-muridnya. Syeh Siti Jenar berkata,”Manusia harus berpegang pada akal, meyakini pula dua puluh sifat yang dimiliki Allah”. Antara lain yakni; wujud, tak berawal, tak berakhir, berlainan dengan barang baru, berkuasa, berkehendak, berpengetahuan, memiliki ilmu secara hakikat dan sebagainya. Para santri mengajukan pertanyaan- pertanyaan sebagai berikut;
 
Tentang Ketuhanan
 
M (murid) ; Apakah wujud dari Tuhan itu dapat dimiliki oleh manusia ?”
S (Syeh Jenar) ; Memang, sifat wujud itu bisa dimiliki manusia dan itulah inti dari ajaran ini. Selama manusia mampu menjernihkan kalbunya, maka ia akan mempunyai sifat-sifat itu. Sifat tersebut pun sudah kumiliki. Kalian bisa melakukannya dengan mengamalkan apa yang hendak kuajarkan. Allah adalah satu-satunya yang wajib disembah. Dia tidak tampak dan tidak berbentuk. Tidak terlihat oleh mata. Sedangkan alam dan segala isinya merupakan cerminan dari wujud Allah yang tampak. Seseorang bisa meyakini adanya Allah karena ia melihat pancaran wujudNya melalui jagad raya ini. Allah tidak berawal dan berakhir, memiliki sifat langgeng, tak mengalami perubahan sedikitpun. Allah berada di mana-mana, bukan ini dan bukan itu. Dia berbeda dengan segala wujud barang baru yang ada di dunia.
 
M         ; Wahai Kanjeng Syeh, jelaskan kepada kami tentang hakikat kodrat !”
S         ; Kodrat adalah kekuasaan pribadi Tuhan. Tak ada yang menyamainya. KekuatanNya tanpa sarana. kehadiranNya berasal dari ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda. Tak dapat ditafsirkan. Jika engkau menghendaki sesuatu maka pasti kalian rencanakan matang-matang dan pasti pikirkan berulang-ulang. Itupun masih sering meleset. Namun Allah tidak demikian, bila menghendaki sesuatu tak perlu dipersoalkan terlebih dahulu.
 
M         ; Kalau begitu Allah tidak memerlukan sesuatu ?
S         ; Benar Allah tidak memerlukan sesuatu. Karena itu jika kalian hidup tanpa memerlukan sesuatu, tanpa butuh harta benda, tanpa butuh jabatan, tanpa butuh pujian, maka kalian akan merasakan hidup yang sesungguhnya. Kalian akan memiliki sifat Allah tersebut.
 
M         ; Kalau manusia menghindari sesuatu dan merasa tidak memerlukan apapun, apakah akhirnya dapat disamakan dengan Allah ?
S         ; Tidak ! walaupun manusia hidup tanpa bergantung sama sekali kepada duniawi, namun ia tetap berbeda dengan Allah. Tidak bisa disamakan dengan Tuhan. Allah adalah pencipta dan kalian adalah yang diciptakan. Allah berdiri sendiri, tanpa memerlukan bantuan. Hidupnya tanpa roh, tidak merasa sakit dan kesedihan, Allah muncul sekehendaknya.
 
M         ; Jika Allah berkehendak, maka apakah kehendak seseorang itu karena kemauan Allah ?
S         ; Untuk sampai pada jawaban itu, kita harus membedakan seseorang mana. Manusia itu dibedakan menjadi beberapa tingkatan. Ada yang awam, ada  yang khowash. Orang awam hanya beribadah secara syariat, tanpa dapat memelihara kalbu, maka ia masih jauh bisa berhubungan dengan Allah. Sedangkan orang-orang khowash, termasuk para nabi, rasul, dan waliyullah, mereka beribadah secara utuh. Bahkan sampai pula pada tingkatan hakikat. Kalau kalbunya sudah bersih dari duniawi dan menyatu dengan cahaya Ilahi, maka kehendak dan kemauannya itu berasal dari Allah. Perbuatannya adalah perbuatan Allah. Maka jangan heran jika ada orang yang diberi karomah sehingga segala ucapannya menjadi bertuah.
 
M         ; Kalau begitu, ibadahnya orang yang sudah khowash itu merupakan kehendak Allah ?
S         ; Benar ! mereka mempunyai kejernihan akal budi. Memiliki kebersihan jiwa dan ilmu. Shalat lima waktu dan berzikir merupakan kehendak yang sangat dalam. Bukan kehendak nafsunya, namun kehendak Allah. Semangatnya sedemikian besar. Mereka shalat tidak mengharapkan pahala, tetapi merupakan suatu kewajiban (diri) dan pengabdian. Badan haluslah yang mendorong untuk menjalankan.
 
M         ; Banyak orang melakukan shalat tetapi tidak menyentuh kepada Yang Disembah. Ini bagaimana ?
S         ; Memang banyak orang yang secara lahiriah tampak khusuk shalatnya. Bibirnya sibuk mengucapkan zikir dan doa-doa, namun hatinya ramai oleh urusan duniawi mereka. Islam yang demikian ini ibarat kelapa, mereka hanya makan serabutnya. Padahal yang paling nikmat adalah buah/daging kelapa dan air kelapanya. Mereka sembahyang lima waktu sebatas lahiriah saja. Tidak berpengaruh sama sekali kepada akal budinya. Padahal sembahyang itu diharapkan dapat mencegah keji dan munkar namun mereka tak mampu melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Kalaupun hakikat shalatnya itu membekas pada budinya itupun hanya sedikit. Buat apa sembahyang lima kali jika perangainya buruk ? masih suka mencuri dan berbohong. Untuk apa bibir lelah berzikir menyebut asma Allah, jika masih berwatak suka mengingkari asma. Kadang-kadang pula mereka berharap pahala. Shalatnya saja belum tentu dihargai oleh Allah, tetapi buru-buru meminta balasan,…..aneh!
 
M         ; Wahai Syeh, ada hadits Rasulullah yang menyebutkan bahwa amal hamba yang pertama kali diperhitungkan adalah sembahyang. Jika sembahyangnya baik, maka semua dianggap baik. Ini bagaimana ?
S         ; Itu perlu ditafsirkan. Tidak boleh dipahami secara dangkal makna dari hadits tersebut. Hadits itu mengandung logika sebagai berikut; Orang yang tekun mengerjakan sembahyang dengan sempurna, maka perilaku, budi pekerti dan kalbunya juga harus terpengaruh menjadi baik. Sebab sembahyang yang dilakukan dengan jiwa yang bersih akan berpengaruh pula bagi cabang kehidupan lainnya. Lebih lanjut Syeh Siti Jenar mengatakan; sebaliknya hadits itu tidak berlaku bagi orang yang tekun mengerjakan sembahyang tetapi hatinya masih kotor, tersimpan keinginan-keinginan nafsu misalnya ingin dipuji orang lain, terdapat ujub dan sombong, serta budinya menyimpang dan menabrak tatanan yang dilarang.
 
M         ; Apakah ada tuntunan mengenai pakaian seseorang yang sedang melakukan sembahyang ?
S         ; Sesungguhnya aku (Syeh Siti Jenar) tidak sependapat jika ada orang yang mengenakan pakaian gamis dan meniru-niru pakaian orang Arab dalam melakukan shalat. Jika selesai shalat, jubah atau gamis itu dilepaskan. Sedangkan shalat orang tersebut tidaklah menyentuh hatinya. Meskipun berlama-lama merunduk di masjid, namun masih mencintai duniawi. Sembahyang yang pakaiannya kedombrangan, merunduk di masjid berlama-lama sampai lupa anak istri. Sedangkan ia masih menyintai duniawi dan mengumbar nafsu manusiawinya. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, ia seringkali menyusahkan orang lain. Maka orang yang demikian itu tidak terpengaruh oleh sembahyang yang dilakukan. Biasanya tipe orang seperti itu sibuk menghitung pahala. Dia sangat keliru dan bodoh. Pahala yang masih jauh tetapi diperhitungkan. Sungguh, sedikit pun tak akan dapat dicapainya.
 
M         ; Dzat Yang Luhur dan Sejati itu sesungguhnya siapa, wahai Syekh ?
S         ; Gusti Allah. Gusti Allah adalah Dzat yang tinggi dan terhormat. Ia memiliki dua puluh sifat, semua timbul atas kehendakNya. Ia mampu mencurahkan ilmu kebesaran, kasampurnan, kebaikan, keramahan, kekebalan dalam segala bentuk, memerintah umat. Dapat muncul di segala tempat dan sakti sekali. Aku (Syekh Siti Jenar) merasa wajib dan menuruti kehendakNya. Sebagaimana ajaran jabariyah, dengan kesungguhan dan konsekuen, selalu kuat cita-citanya, kokoh tak tergoyahkan terhadap sesuatu yang tidak suci, berpegang teguh kepadaNya selama hidup, tak akan menyembah terhadap ciptaanNya, baik dalam wujud maupun dalam pengertian.
 
M         ; Mengapa Kanjeng Syekh dianggap oleh para wali sebagai wali murtad ?
S         ; Karena ajaranku tidak mudah dipahami orang awam.
 
M         ; Bagaimana ajaran Kanjeng Syeh yang dianggap sesat ?
S         ; Aku adalah penjelmaan dari Dzat Luhur, yang memiliki semangat, sakti, dan kekal akan kematian. Dengan hilangnya dunia Gusti Allah telah memberi kekuasaan kepadaku dapat manunggal denganNya, dapat langgeng mengembara melebihi kecepatan peluru. Bukannya akal, bukannya nyawa, bukan penghidupan yang tanpa penjelasan dari mana asalnya dan kemana tujuannya.
 
M         ; Apa hubungannya antara kanjeng Syeh Siti Jenar dengan Allah, yang kau sebut sebagai Dzat sejati ?
S         ; Dzat yang sejati menguasai wujud penampilanku. Karena kehendakNya maka wajarlah jika aku tidak mendapat kesulitan. Aku bisa berkelana ke mana-mana. Tidak merasa haus dan lelah, tanpa sakit dan lapar, karena ilmu kelepasan diri, tanpa suatu daya kekuatan. Semua itu disebabkan jiwaku tiada bandingannya. Secara lahiriah memang tidak berbuat sesuatu, tetapi tiba-tiba sudah berada di tempat lain. Gusti Kang Murbeng Dumadi (Allah) yang kuikuti, kutaati siang malam, yang kuturut segala perintahNya. Tiada menyembah Tuhan lain, kecuali setia terhadap suara hati nuraniku. Allah Mahasuci.
 
M         ; Wahai Syeh jelaskan apa yang di maksud bahwa Allah itu Maha Suci ?
S         ; Allah Mahasuci itu hanyalah sebatas istilah saja. Merupakan nama saja. Sebenarnya hal itu dapat disamakan dengan bentuk penampilanku. Jika kalian melihatku, maka tampak dari luar sebagai warangka (kerangka), sedangkan di dalamnya adalah kerisnya (intinya) Hyang Agung, yang tak ada bedanya dengan kerangka. Tuhan itu wujud yang tidak dapat dilihat dengan mata, tetapi dilambangkan seperti bintang yang bersinar cemerlang.  Sifat-sifatNya berwujud samar-samar bila dilihat, warnanya indah sekali seperti cahaya.
 
M         ; Di manakah Tuhan berada ? kami membayangkan Dia ada di langit ke 7 dan bersemayam di atas singgasana layaknya raja.
S         ; Siti Jenar mendadak tertawa. Setelah tertawanya reda, ia berkata, “Itu salah besar, itu kebodohan. Sesungguhnya Tuhan tidak berada di langit ketujuh dan tidak bertahta di singgasana atau arsy (Kursi). Bila kalian membayangkan demikian, maka hati kalian sudah musyrik. Berdosa besar. Karena kalian menyamakan Dia dengan raja atau dengan penguasa.
 
M         ; Kami jadi bingung, Kanjeng Syekh, lantas Tuhan itu ada di mana ?
S         ; Kalau kalian bertanya demikian, maka jawabnya mudah.  Gusti Allah itu tidak kemana-mana, tetapi ada di mana-mana.
 
M         ; Kami semakin tak mengerti. Bisakah Kanjeng Syeh memberi penjelasan yang lebih gamblang ?
S         ; Gusti Allah itu berada pada dzat yang tempatnya tidak jauh. Dia bersemayam di dalam tubuh kita. Tetapi hanya orang yang khowash, orang yang terpilih dapat melihat. Tentunya dengan mata batin. Hanya mereka yang dapat merasakannya.
 
M         ; Apakah Allah itu berupa roh atau sukma ?
S         ; Bukan roh dan bukan sukma. Allah adalah wujud yang tak dapat dilihat oleh mata, tetapi dilambangkan seperti bintang-bintang bersinar cemerlang. Sudah kukatakan tadi, warnanya indah sekali. Ia memiliki dua puluh sifat seperti; sifat ada, tak berawal, tak berakhir, berbeda dengan barang-barang yang baru, hidup sendiri dan tidak memerlukan bantuan dari sesuatu, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat, berilmu, hidup dan berbicara. Sifat Gusti Allah yang duapuluh itu terkumpul menjadi satu wujud mutlak yang disebut dengan Dzat. Sifat duapuluh itu juga menjelma pada diriku. Karena itu aku yakin tidak akan mengalami sakit dan sehat, punya budi kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan keramahan. Roh ku memiliki sifat duapuluh itu, sedangkan ragaku yang lahiriah memiliki sifat nur Muhammad.
 
M         ; Wahai Syekh, bukankah Muhammad SAW itu seorang nabi. Apakah Syekh mengaku sebagai Nabi ? Sedangkan dikatakan bahwa setelah nabi Muhammad, di dunia ini tidak ada kenabian lagi ?
S         ; Jangan salah menafsirkan kata-kataku. Jika salah, maka kau akan sesat dan timbul fitnah. Tentu saja memfitnah diriku. Begini, bahwa rohku adalah roh Ilahi. Karena aku pun memiliki sifat duapuluh. Sedangkan badan wadag ku, jasadku ini, adalah jasad Muhammad. Dari segi lahiriah Muhammad adalah manusia. Namun manusia Muhammad berbeda dengan orang kebanyakan. Muhammad memiliki jasad yang kudus, yang suci. Aku dan dia sama-sama merasakan kehidupan, merasakan manfaat panca indera. Dan panca indra itu hanyalah meminjam.  Jika sudah diminta kembali oleh Pemiliknya akan berubah menjadi tanah yang busuk, berbau, hancur dan najis. Nabi atau wali, jika sesudah kematian jasadnya menjadi tak bermanfaat. Bahkan berbau, kotor, najis, busuk dan hancur. Warangka jika sudah ditinggalkan kerisnya maka tiada guna.
 
M         ; Jika seseorang sudah mati, berarti selesai sudah kehidupannya ?
S         ; Siapa bilang begitu ? Tidak ! meskipun jasadnya mati, tetapi sebenarnya ia tidaklah mati. Karena itu, kalian semua harus mengerti bahwa dunia ini sesungguhnya bukanlah kehidupan. Buktinya ada mati. Di dunia ini, kehidupan disebut kematian. Coba rasakan ! Aku mengajarkan kepada kalian untuk tidak menyintai dunia ini dan tidak terpesona terhadap keindahannya. Carilah kebenaran dan kebahagiaan sejati demi kehidupan mendatang, kehidupan setelah kematian. Kalian akan berarti jika telah menemui kematian dan hidup sesudah itu. Engkau harus memilih hidup yang tak bisa mati. Dan hidup yang tak bisa mati itu hanya kalian rasakan setelah nyawa terlepas dari badan. Kehidupan itu akan dapat dirasakan dengan tanpa gangguan seperti sekarang ini. Ketahuilah, hidup yang  sesungguhnya adalah setelah nyawa lenyap dari badan.
 
M         ; Agar dapat meraih kehidupan dalam kemuliaan  sejati kelak, dalam kehidupan di dunia ini dibutuhkan kebenaran dan kebahagian sejati. Bagaimanakah cara mendapatkannya Kanjeng Syekh ?
S         ; Jiwa manusia adalah suara hati nurani. suara hati nurani merupakan ungkapan Dzat Allah yang harus ditaati perintahnya. Maka ikutilah hati nuranimu.
 
M         ; Bagaimana caranya meyakinkan bahwa suatu bisikan adalah suara hati nurani yang sesungguhnya ?
S         ; Kalian harus cermat, karena hati nurani berbeda dengan akal budi,  jiwa itu milik Allah, sedangkan akal milik manusia.  Akal bersifat manusiawi, karena itu kadang-kadang akal tak mampu menemukan keajaiban Allah. Kehendak, angan-angan, ingatan, merupakan suatu akal yang tak kebal atas kegilaan. Suatu ketika akal bisa menjadi bingung sehingga membuat seseorang lupa diri. Akal seringkali tidak jujur. Siang malam membuat kepalsuan demi memakmurkan kepentingan pribadi.
 
M         ; Bukankah manusia menjadi lebih mulia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya, karena manusia diberi akal oleh Allah ?
S         ; Ya, itulah yang membedakan. Tapi jangan lupa bahwa akal seringkali tidak jujur. Sering bersifat dengki, suka memaksa, melanggar aturan, jahat, suka disanjung-sanjung, sombong, yang ahirnya membuat manusia justru tidak berharga samasekali. Lebih hina dari makhluk lainnya.
 
M         ; Jadi kita harus menggunakan akal sesuai dengan jiwa atau kehendak Allah ?
S         ; Ya, benar. Jika seseorang mampu mengendalikan akalnya dengan ajaran Allah, dengan kebenaran, dan dengan jiwa yang bersih, maka ia bermanfaat. Menjadikan diri lebih mulia.
 
M         ; Apa yang menghalangi seseorang sehingga gagal dalam dalam menempuh manunggaling kawula-Gusti ?
S         ; Jangan mementingkan kehidupan duniawi. Sebab kehidupan duniawi yang kalian jalani penuh kotoran. Akal kalian mudah tercemar dengan kotoran sifat dan mudah dikuasai oleh nafsu, sehingga menghalangi kalian untuk bisa menuju pada tahap manunggaling kawula-Gusti.
 
M         ; Di dunia ini ada yang cantik, tampan dan gagah. Bagaimana kedudukan orang-orang tersebut jika kelak telah terlepas rohnya ?
S         ; Kalian jangan menyintai dan mengagumi bentuk yang cantik, tampan atau gagah. Sebab sebenarnya badan wadag (jasad) laksana sangkar yang mengurung jiwa. Badan wadag merupakan beban yang memberatkan dan menyakitkan roh kalian.
 
M         ; Wahai Syekh, benarkah sesudah kematian ada surga neraka ?
S         ; Para wali memang mengajarkan demikian. Inilah ajaran yang justru menurutku menyesatkan karena terlalu dangkal. Para wali hanya mengajarkan “serabut” atau kulitnya, tidak sampai pada isinya; tidak sampai pada hakikat yang sebenarnya. Para wali mengajarkan bahwa surga dan neraka hanya dijumpai kelak setelah kiamat. Adanya di akherat. Dan orang-orang awam menelan mentah-mentah keterangan itu. Siksa kubur hanya dijumpai dan dirasakan badan wadag ketika di tanam di kuburan. Para wali memang bertujuan baik, tetapi diputus sampai di situ. Mereka enggan menjelaskan lebih dalam dan lebih sampai pada makna yang hakiki.
 
M         ; Kalau menurut Syekh bagaimana ?
S         ; Begini, untuk menemui dan merasakan surga dan neraka maka seseorang tidak harus menunggu sampai mati atau sampai datangnya kiamat. Di dunia ini saja kita sudah dapat merasakan surga dan siksa neraka. Karena sesungguhnya surga dan neraka itu berada di dalam jiwa kalian.  Berada di dalam jiwa setiap manusia yang bernafas. Jika jiwa manusia telah bersih dari gangguan hawa nafsu dan dapat menyatu dengan Gusti Allah, maka di dunia ini ia akan merasakan suatu kenikmatan surga. Jika budi kalian, misalnya menolong orang lemah, lalu hati menjadi ikhlas dan puas,  maka itulah yang disebut surga. Sedangkan neraka, perwujudannya adalah jika hawa nafsu telah menguasai diri seseorang. Kemudian jiwanya meronta dan merasa bersalah. Maka dia tentu tersiksa. Ia tidak bisa tidur, gelisah pikirannya, sedih dan bermacam-macam rasa tak enak. Itulah yang dinamakan neraka.
 
M         ; Jadi surga dan neraka di akherat tidak berlaku ? maksud kami tidak ada ?
S         ; Surga dan neraka di hari kiamat, di akherat kelak, sudah diterangkan dalam Al Quran. Itu perkara gaib dan erat kaitannya dengan iman. Kalian harus meyakininya.
 
M         ; Untuk apa meyakini ? bukankah jika di dunia berbudi baik dan beriman kepada Allah sudah merasakan surga. Sedangkan surga dan neraka di akhirat hanyalah bersifat menakut-nakuti manusia agar tidak berbuat buruk ?
S         ; Pendapatmu memang cerdas dan kritis. Namun kalian tidak usah mempertanyakan, apakah kelak di akhirat ada surga dan neraka. Itu urusan Gusti Allah. Kalian harus meyakini. Karena meyakini hari akhir merupakan rukun iman. Sekali lagi, untuk mendapatkan surga pun kalian tak perlu menunggu datangnya hari akhir. Meskipun seseorang sembahyang seribu kali setiap hari, toh akhirnya mati juga. Walaupun badanmu kau tutupi dengan kain surban dan jubah, namun akhirnya menjadi debu juga. Maka jiwalah yang paling penting. Jika keadaan jiwa seperti Tuhan, maka surga akan didapatkannya. Kenikmatan luar biasa akan dirasakan.
 
M         ; Wahai Syeh, sesungguhnya yang menjadi pikiranku adalah sebelum ada dunia ini, apakah sudah ada dunia lainnya. Atau setelah kiamat, apakah Tuhan membuat dunia baru lagi seperti sekarang ?
S         ; Sebelum dunia ada, apakah ada dunia lain, itu hanya Allah yang tahu. Tetapi sekarang kita berada di dunia ini menempati ruang dan waktu. Dunia ini asalnya adalah baru. Kemudian mengalami kerusakan dan kelak akhirnya menjadi hancur. Lenyap tak berharga. Setelah kiamat, apakah Tuhan membuat dunia baru untuk keduakalinya ? Tidak !
 
M         ; Wahai Syekh, kalau begitu dunia erat kaitannya dengan raga kita, sedangkan jiwa erat kaitannya dengan alam akhirat ?
S         ; Benar, dunia itu erat kaitannya dengan raga. Raga mempunyai sifat seperti alam semesta, yang semula baru kemudian rusak. Sedangkan jiwa tidak akan mengenal kerusakan karena jiwa merupakan penjelmaan Dzat Allah. Ketahuilah bahwa raga adalah barang pinjaman yang suatu saat akan diminta oleh Pemiliknya. Ketahuilah wahai murid-muridku. Raga ini sesungguhnya sangkar yang membelenggu dan menyulitkan jiwa. Agar jiwa menjadi bebas, maka suatu saat kelak, kalian akan kuajarai bagaimana cara melepas jiwa dari raga. Ilmu melepas jiwa artinya bahwa kematian adalah titik awal kehidupan yang sebenarnya. Jika seseorang raganya mati, maka jiwanya menjadi merdeka, bebas dan tidak terkungkung lagi. Sebab raga berhubungan erat dengan alam semesta. Sedangkan jiwa berhubungan erat dengan Dzat Tuhan. selamanya jiwa tak akan bisa mati atau rusak.
 
M         ; Apakah yang dimaksud jalan kehidupan, wahai Syekh ?
S         ; Jalan kehidupan adalah jalan menuju kepada hidup yang sebenar-benarnya, setelah engkau mengalami kematian. Jika seorang bayi lahir, maka bukanlah awal kehidupan, namun merupakan awal “kehidupan palsu” seperti yang kalian rasakan saat ini. Inilah yang sesungguhnya kematian sejati.
 
M         ; Jika demikian badan ini tidak bisa merasakan kehidupan yang sebenar-benarnya ?
S         ; Ya, tidak bisa. Kehidupan sejati tidak dapat dirasakan oleh raga, karena jika raga mati akan tetapi dapat dirasakan oleh jiwa. Membusuk menjadi tanah.
 
M         ; Bagaimana jika sekarang ini seseorang berbuat dosa. Apakah jiwanya ikut bertanggungjawab. Sedangkan yang melakukan dosanya adalah raga.
S         ; Tetap ikut bertanggungjawab, karena jiwa yang menyatu ke dalam raga tidak bisa mencegah hawa nafsunya serta akal yang suka berbuat buruk.
 
M         ; Maaf saya belum paham Syekh.
S         ; Ketahuilah, setiap orang yang lahir di dunia ini maka jiwanya menyatu dengan akal. Selain akal dalam diri manusia juga ada hawa nafsu. Ketika seseorang berbuat buruk, berarti raganya didorong dan dipengaruhi oleh hawa nafsu dan akalnya. Akal dan nafsu memang suka  berbuat buruk. Apabila jiwa mencegah (melalui hati nurani), maka raga tidak akan berbuat buruk. Akan tetapi jika jiwa membiarkannya, maka raga tetap melakukannya. Karena itu bagaimanapun juga jiwalah yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan baik dan buruk raganya.
 
M         ; Tadi Syekh mengatakan jiwa adalah penjelmaan dzat Tuhan. Mengapa kadang-kadang jiwa mau mencegah dan kadang membiarkannya ?
S         ; Perlu kalian semua ingat, bahwa di dalam raga ini terdapat nafsu-nafsu. Jika nafsu kuat menguasai, maka jiwa menjadi terbelenggu. Karena itulah mengapa aku katakan bahwa kehidupan sekarang ini adalah kematian. Sedangkan setelah ajal merupakan awal kehidupan. Sesudah kematian maka seseorang akan mencapai kebebasan jiwanya.
 
Ajaran Syekh Siti Jenar memang agak beda dengan ajaran para wali sanga. Siti Jenar mengajarkan bahwa Tuhan adalah Zat yang mendasari adanya manusia, hewan, tumbuhan dan segala yang ada. Keberadaan segala di dunia ini tergantung pada adanya Zat. Tanpa ada Zat Yang Mahakuasa, maka mustahil sesuatu yang wujud itu ada.
Ajaran ini tidak pernah disampaikan oleh para Wali Sanga. Mereka menyadari bahwa umatnya masih terlalu awam terhadap Islam,  sehingga memberi materi yang ringan dan praktis saja.

Sabtu, 17 Agustus 2013

ORA ONO OPO - OPO sing ONO KUWI DUDU

     Makna indonesianya adalah “Tidak ada apa-apa, yang ada tersebut (ternyata) bukan”. Ini adalah pencapaian tertinggi dari seseorang dalam pencapaian spiritual, emangnya ada berapa tingkatan spiritual ce hehehe, ah! entahlah. Apa yang dicari selama ini tentang Tuhan ternyata diakhir pencapaiannya malah berucap : tidak ada apa-apa, jadi yang selama ini saya anggap sebagai Tuhan ternyata bukan. Menjadi kosong dan tiada. Lantas siapa sebenarnya Tuhan yang banyak disembah oleh manusia dengan berbagai macam nama dan dalam keyakinannya masing-masing? Inilah yang menjadi pertanyaan dasar sehingga kami tuliskan artikel dengan judul di atas.

  Sebenarnya kalimat dengan judul di atas sudah lama penulis ketahui, namun selama ini belumlah bisa memahami dan mencernanya. Dan tanpa dikira ada setitik pencerahan yang dapat kami uraikan dan tuliskan tentang judul tersebut. Tentu ini adalah setitik pencerahan yang muncul dari berbagai sumber dan laku hidup kemudian kami merangkainya. Kalau boleh diibaratkan: kebenaran dikehidupan itu seperti serpihan cermin, dan tugas kita untuk mengumpulkannya sehingga menjadi bangunan (cermin) utuh, namun sangat mungkin akan terjadi, jika masih ada bagian cermin lain yang belum kita temukan sehingga apa yang kita yakini sudah utuh ternyata ada bagian lain telah ditemukan orang lain. Dan akhirnya kebenaran yang kita yakini memaksa untuk diproses ulang, atau kalau tidak! Kita menghormati orang lain sebagai pemilik serpihan cermin yang lain. Itulah cermin yang fungsinya untuk melihat diri sendiri (memperbaiki diri sendiri).

                Mengutip dari pernyataan Gus Amik (pak Camat Tamanan), bahwasanya kalau dipahami apa yang kita cari dalam hidup ini adalah sebuah rasa. Rasa enak, kenyang, nyaman, tenang, senang dan rasa-rasa lain. Pun demikian bahwa hidup kita juga tidak akan lepas dari yang namanya rasa, seperti sedih, takut, tegang, prihatin dan rasa-rasa lain. Kuncinya adalah sebuah rasa. Ketika anda membeli kasur, sebenarnya anda tidak membeli fisik kasur tersebut namun lebih kepada rasa tidur yang nyaman, rasa tidur yang sehat, rasa untuk prestise (life style) di mata orang, rasa kepuasan, menginginkan rasa tidur yang lebih enak daripada sebelum memiliki kasur tersebut dsb. Pastilah tujuan tersebut di akhir akan melibatkan rasa yang kita miliki.

    Masih kata Gus Amik, bahwasanya yang kita kejar dalam hidup ini adalah isi, bukanlah kulit. Isi tersebut dimanifestasikan sebagai rasa. Rasa yang terkandung dalam setiap hal yang kita perbuat maupun yang kita yakini. Kalau begitu banyak yang tidak mengerti sejatinya pencapaian-pencapaian yang kita miliki terkait dengan keyakinan dalam hidup ini. Banyak yang masih berkutat pada kulit dan tidak mau menyadari tentang adanya isi, ada juga yang mengatakan kulit dan isi kita rengkuh semua. Its ok. Tidak ada masalah, kita menghormatinya.
    
     Seperti kita hendak membeli baju tentu tidak asal-asalan dalam membeli. Kita akan mencari ukuran yang sesuai, warna yang memikat, harga yang sesuai budget, juga ada tujuan untuk membeli baju, dan akhirnya kalau kita kupas proses membeli baju akan mengacu pada sebuah rasa yang timbul seperti rasa nyaman ketika memakainya karena ukurannya pas, warnanya menarik, kainnya halus, rasa bangga dan puas karena membeli baju bermerk, rasa tidak bersalah karena membeli sesuai budget dan rasa-rasa lainnya. Nah, menurut Gus Amik alangkah bijaknya jika yang kita lakukan dan yang kita pilih di kehidupan dunia ini berdasarkan rasa yang kita kehendaki, bukan pada tampilan atau kulit yang sering kali menipu banyak orang. Dan tidaklah perlu bertengkar dan mempermasalahkan akan adanya perbedaan kulit.

   Rasa yang muncul namun sering tidak kita sadari adalah rasa dalam berkeyakinan (beragama).  Orang mungkin akan mengatakan bahwa tujuan beragama atau memiliki keyakinan tentang hidup adalah mencari selamat di dunia dan nanti setelah meninggal. Namun tanpa kita sadari bahwasanya yang kita cari adalah sebuah rasa. Ya tentu saja rasa. Rasa tenang mengikuti keyakinan (agama) tersebut, rasa berada di jalur yang benar, rasa selamat, rasa takut jika melenceng dari keyakinan, rasa takut jika melanggar aturan-aturannya, rasa disayang Tuhan karena dengan keyakinan tersebut, rasa keharusan melakukan sesuatu dari keyakinan tersebut dan rasa-rasa lainnya.

   Dus, intinya dalam hidup ini bagaimana kita mampu mengolah rasa, mengetahui rahasia rasa dan bagaimana memperdayakannya ke dalam kehidupan agar kita paham isi dari banyaknya kulit yang bertebaran di kehidupan ini. Petuah orang jaman dahulu agar kita sering mengolah rasa, mungkin inilah salah satu tujuannya yaitu supaya tidak terjebak pada dogma-dogma pikiran yang dihasilkan kulit/penampakan sehingga membelenggu pola pikir dan perbuatan, sehingga dapat menjadi manusia yang fanatism, fatalism dan primordialism.
       Kami ambilkan hasil dari salah satu meditasi yang pernah kami ikuti. Meditasi attunement khodam Tuhan, yup betul meditasi attunement khodam Tuhan yaitu memasukkan Tuhan ke dalam diri kita. Tujuan utamanya adalah mencari siapa sebenarnya Tuhan kita. Apa yang terjadi setelah meditasi adalah di luar dugaan. Suatu saat di dalam meditasi seperti ada suatu penglihatan, namun kita sendiri terkejut seperti takut melihatnya sehingga segera saja menyadarkan diri. Setelah kami konsultasikan ternyata penglihatan tersebut adalah diri kita sendiri. Yup betul diri kita sendiri. Kita terkejut karena melihat diri sendiri. Maunya melihat Tuhan, ternyata yang dirasakan cuma emosi (rasa) dan ujungnya adalah bertemu aku/ingsun/ego yaitu simbol dari diri sendiri. Seperti itulah proyeksi Tuhan yang selama ini kita sembah dan kita cari, namun selama ini kita tidak mau menghadapinya serta kita tidak mau mengakuinya bahwa diri kita inilah adalah Tuhan dari diri sendiri.
    Kalau bisa kami sederhanakan, bahwasanya Tuhan yang selama ini kita sembah ternyata berada dibalik ego/ingsun/aku. Aku inilah sebagai pemilik rasa dan rasa inilah yang selama ini kita cari-cari di kehidupan. Aku sebagai pemilik rasa tentu sebagai esensi yang hidup, karena hanya yang hidup mampu menghasilkan rasa. Aku hidup menghasilkan rasa. Rasa hidup (muncul) menghasilkan keyakinan. Keyakinan kita genggam sebagai pegangan. Pegangan kita jalankan sebagai wujud bakti kepada Tuhan. Tuhan tersebut tentu kita yakini dengan sebuah rasa. Rasa bahwa Tuhan Maha Besar, Maha Berkehendak, Maha Kuasa dan rasa-rasa lainnya. Kita paham bahwa rasa hanya muncul dari diri sendiri yang sengaja diciptakan oleh pikiran akibat dari berbagai aspek yang diterima pada tubuh. Inilah aku/ingsun/ego dengan segala rasa yang bisa dikeluarkan kemudian kita sembah menjadi Tuhan. Tuhan yang selama ini kita sembah adalah pemilik rasa yaitu diri sendiri. Kita inilah Tuhan yang kita sembah sendiri. Tidak ada apa-apa selain diri kita yang membentuk Tuhan dengan pikiran yang dibantu dengan kekuatan rasa. Sekali lagi kita menyembah Tuhan dengan rasa, dan rasa adalah aku/ingsun/ego, maka akulah Tuhan bagiku. Engkau tidak akan menyembah Tuhan yang aku sembah, dan aku tidak akan menyembah Tuhan yang engkau sembah (cuplikan surat Al Kafirun). Karena aku menyembah diri sendiri. Dan sampai kapanpun aku tidak akan menyembahmu, demikian juga kamu, sampai kapanpun tidak akan pernah menyembah aku. Kita menjadi Tuhan bagi diri kita sendiri.

                Seperti juga yang telah tertulis dalam Suluk Linglung karya Sunan Kalijaga yang menceritakan tentang perjalanan spiritual Syeh Malaya (sunan kalijaga sendiri). Dalam perjalanan laku spiritual yang berat dan panjang, suatu saat beliau bertemu Nabi Khidir di tengah laut dalam perjalanannya menuju ke Baitullah (makkah) dengan berenang, singkat kata Sunan dilarang pergi ke Baitullah (makkah) dan kemudian beliau disuruh masuk ke dalam Nabi Khidir. Apa yang didapatinya adalah ruangan yang kosong tidak bertepi, disana sini melihat tidak ada apa-apa, juga tidak tahu arah, mana yang atas mana yang bawah. Yang didapati hanyalah diri sendiri dan sebuah perasaan (rasa) yang tidak dapat digambarkan (rasa sejati) sampai-sampai beliau (Sunan Kalijaga) tidak mau keluar di dalam ruangan (kondisi) tersebut. Demikian juga dalam cerita Bima dalam mencari air kehidupan sehingga bertemu dengan Dewa Ruci, yang kemudian disuruh masuk ke dalam Dewa Ruci. Juga tidak ada apa-apa didalamnya. Hanyalah dirinya dan sebuah rasa (rasa sejati).

 Tentu saja cerita-cerita di atas dapat kita artikan dengan beragam makna. Arti yang dapat kami berikan adalah untuk mencapai Tuhan dapat ditempuh dengan masuk ke dalam diri sendiri. Kenapa harus masuk ke dalam diri sendiri? Itulah sebuah pertanyaan yang mendasar. Selama ini Tuhan yang kita yakini ternyata adalah sebuah proyeksi pikiran dan perasaan. Sedangkan pikiran dan perasaan adalah sebuah esensi yang menghambat untuk menuju pemurnian. Nah, ketika pemurnian telah terjadi maka disanalah muncul esensi yang sejati yaitu berupa ingsun/aku/ego. Aku inilah yang sampai kapanpun tidak akan terkena polusi kehidupan, kekokotoran dunia, Dialah Ingsun Sejati Yang Maha Suci yang ada pada setiap makhluk hidup dan segala sesuatunya.

  Dus, kalau diamati bersama, dalam pencapaian-pencapaian spiritual semua orang meskipun terjadi dalam keyakinan (agama) yang berbeda-beda, ujung-ujungnya adalah satu titik yaitu tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali dirinya sendiri. Semuanya kosong, tiada, suwung. Semua simbol-simbol Tuhan, agama dan keyakinan telah melebur menjadi tiada dan menyadari hanya ada ingsun/aku di dunia ini. Ke segala arah memandang semuanya kosong, tiada. dan lagi-lagi bertemu dengan ingsun/aku. Akhirnya dia berucap: tidak ada apa-apa, yang ada ternyata bukan. Maka pepatah bijak mengatakan, lebih baik menjadi diri sendiri (menjadi tuan/Tuhan diri sendiri) atau memahami jati diri daripada mengikuti sesuatu yang ujung-ujungnya juga kembali kepada diri sendiri. Jadilah manusia yang sadar sesadar-sadarnya. Wallahua’lam bishshowab. Semoga bermanfaat. Rahayu rahayu rahayu.

                Sebagai penutup Kami berikan cuplikan sebuah karya Orang Jawa tentang ingsun/aku:

INGSUN ANYAKSENI ING DZAT INGSUN DHEWE, SATUHUNE ORA ANA PANGERAN AMUNG INGSUN, LAN NYAKSENI INGSUN SATUHUNE MUHAMMAD IKU UTUSAN INGSUNG. IYA SEJATINE KANG ARAN ALLAH IKU BADAN INGSUN, RASUL IKU RAHSANINGSUN, MUHAMMAD IKU CAHYANINGSUN, IYA INGSUN KANG ELING TAN KENA ING LALI, IYA INGSUN KANG LANGGENG ORA KENA OWAH GINGSIR ING KAHANAN SEJATI, IYO INGSUNG KANG AMURBA AMISESA, KANG KAWASA, WICAKSANA ORA KEKURANGAN ING PANGERTI, BYAR … SAMPURNA PADHANG TERAWANGAN, ORA KRASA APA-APA, ORA ANA KETON APA-APA, MUNG INGSUN KANG NGLIMPUTI ING NGALAM KABEH, KALAWAN KODRATINGSUN.