Sabtu, 17 Agustus 2013

ORA ONO OPO - OPO sing ONO KUWI DUDU

     Makna indonesianya adalah “Tidak ada apa-apa, yang ada tersebut (ternyata) bukan”. Ini adalah pencapaian tertinggi dari seseorang dalam pencapaian spiritual, emangnya ada berapa tingkatan spiritual ce hehehe, ah! entahlah. Apa yang dicari selama ini tentang Tuhan ternyata diakhir pencapaiannya malah berucap : tidak ada apa-apa, jadi yang selama ini saya anggap sebagai Tuhan ternyata bukan. Menjadi kosong dan tiada. Lantas siapa sebenarnya Tuhan yang banyak disembah oleh manusia dengan berbagai macam nama dan dalam keyakinannya masing-masing? Inilah yang menjadi pertanyaan dasar sehingga kami tuliskan artikel dengan judul di atas.

  Sebenarnya kalimat dengan judul di atas sudah lama penulis ketahui, namun selama ini belumlah bisa memahami dan mencernanya. Dan tanpa dikira ada setitik pencerahan yang dapat kami uraikan dan tuliskan tentang judul tersebut. Tentu ini adalah setitik pencerahan yang muncul dari berbagai sumber dan laku hidup kemudian kami merangkainya. Kalau boleh diibaratkan: kebenaran dikehidupan itu seperti serpihan cermin, dan tugas kita untuk mengumpulkannya sehingga menjadi bangunan (cermin) utuh, namun sangat mungkin akan terjadi, jika masih ada bagian cermin lain yang belum kita temukan sehingga apa yang kita yakini sudah utuh ternyata ada bagian lain telah ditemukan orang lain. Dan akhirnya kebenaran yang kita yakini memaksa untuk diproses ulang, atau kalau tidak! Kita menghormati orang lain sebagai pemilik serpihan cermin yang lain. Itulah cermin yang fungsinya untuk melihat diri sendiri (memperbaiki diri sendiri).

                Mengutip dari pernyataan Gus Amik (pak Camat Tamanan), bahwasanya kalau dipahami apa yang kita cari dalam hidup ini adalah sebuah rasa. Rasa enak, kenyang, nyaman, tenang, senang dan rasa-rasa lain. Pun demikian bahwa hidup kita juga tidak akan lepas dari yang namanya rasa, seperti sedih, takut, tegang, prihatin dan rasa-rasa lain. Kuncinya adalah sebuah rasa. Ketika anda membeli kasur, sebenarnya anda tidak membeli fisik kasur tersebut namun lebih kepada rasa tidur yang nyaman, rasa tidur yang sehat, rasa untuk prestise (life style) di mata orang, rasa kepuasan, menginginkan rasa tidur yang lebih enak daripada sebelum memiliki kasur tersebut dsb. Pastilah tujuan tersebut di akhir akan melibatkan rasa yang kita miliki.

    Masih kata Gus Amik, bahwasanya yang kita kejar dalam hidup ini adalah isi, bukanlah kulit. Isi tersebut dimanifestasikan sebagai rasa. Rasa yang terkandung dalam setiap hal yang kita perbuat maupun yang kita yakini. Kalau begitu banyak yang tidak mengerti sejatinya pencapaian-pencapaian yang kita miliki terkait dengan keyakinan dalam hidup ini. Banyak yang masih berkutat pada kulit dan tidak mau menyadari tentang adanya isi, ada juga yang mengatakan kulit dan isi kita rengkuh semua. Its ok. Tidak ada masalah, kita menghormatinya.
    
     Seperti kita hendak membeli baju tentu tidak asal-asalan dalam membeli. Kita akan mencari ukuran yang sesuai, warna yang memikat, harga yang sesuai budget, juga ada tujuan untuk membeli baju, dan akhirnya kalau kita kupas proses membeli baju akan mengacu pada sebuah rasa yang timbul seperti rasa nyaman ketika memakainya karena ukurannya pas, warnanya menarik, kainnya halus, rasa bangga dan puas karena membeli baju bermerk, rasa tidak bersalah karena membeli sesuai budget dan rasa-rasa lainnya. Nah, menurut Gus Amik alangkah bijaknya jika yang kita lakukan dan yang kita pilih di kehidupan dunia ini berdasarkan rasa yang kita kehendaki, bukan pada tampilan atau kulit yang sering kali menipu banyak orang. Dan tidaklah perlu bertengkar dan mempermasalahkan akan adanya perbedaan kulit.

   Rasa yang muncul namun sering tidak kita sadari adalah rasa dalam berkeyakinan (beragama).  Orang mungkin akan mengatakan bahwa tujuan beragama atau memiliki keyakinan tentang hidup adalah mencari selamat di dunia dan nanti setelah meninggal. Namun tanpa kita sadari bahwasanya yang kita cari adalah sebuah rasa. Ya tentu saja rasa. Rasa tenang mengikuti keyakinan (agama) tersebut, rasa berada di jalur yang benar, rasa selamat, rasa takut jika melenceng dari keyakinan, rasa takut jika melanggar aturan-aturannya, rasa disayang Tuhan karena dengan keyakinan tersebut, rasa keharusan melakukan sesuatu dari keyakinan tersebut dan rasa-rasa lainnya.

   Dus, intinya dalam hidup ini bagaimana kita mampu mengolah rasa, mengetahui rahasia rasa dan bagaimana memperdayakannya ke dalam kehidupan agar kita paham isi dari banyaknya kulit yang bertebaran di kehidupan ini. Petuah orang jaman dahulu agar kita sering mengolah rasa, mungkin inilah salah satu tujuannya yaitu supaya tidak terjebak pada dogma-dogma pikiran yang dihasilkan kulit/penampakan sehingga membelenggu pola pikir dan perbuatan, sehingga dapat menjadi manusia yang fanatism, fatalism dan primordialism.
       Kami ambilkan hasil dari salah satu meditasi yang pernah kami ikuti. Meditasi attunement khodam Tuhan, yup betul meditasi attunement khodam Tuhan yaitu memasukkan Tuhan ke dalam diri kita. Tujuan utamanya adalah mencari siapa sebenarnya Tuhan kita. Apa yang terjadi setelah meditasi adalah di luar dugaan. Suatu saat di dalam meditasi seperti ada suatu penglihatan, namun kita sendiri terkejut seperti takut melihatnya sehingga segera saja menyadarkan diri. Setelah kami konsultasikan ternyata penglihatan tersebut adalah diri kita sendiri. Yup betul diri kita sendiri. Kita terkejut karena melihat diri sendiri. Maunya melihat Tuhan, ternyata yang dirasakan cuma emosi (rasa) dan ujungnya adalah bertemu aku/ingsun/ego yaitu simbol dari diri sendiri. Seperti itulah proyeksi Tuhan yang selama ini kita sembah dan kita cari, namun selama ini kita tidak mau menghadapinya serta kita tidak mau mengakuinya bahwa diri kita inilah adalah Tuhan dari diri sendiri.
    Kalau bisa kami sederhanakan, bahwasanya Tuhan yang selama ini kita sembah ternyata berada dibalik ego/ingsun/aku. Aku inilah sebagai pemilik rasa dan rasa inilah yang selama ini kita cari-cari di kehidupan. Aku sebagai pemilik rasa tentu sebagai esensi yang hidup, karena hanya yang hidup mampu menghasilkan rasa. Aku hidup menghasilkan rasa. Rasa hidup (muncul) menghasilkan keyakinan. Keyakinan kita genggam sebagai pegangan. Pegangan kita jalankan sebagai wujud bakti kepada Tuhan. Tuhan tersebut tentu kita yakini dengan sebuah rasa. Rasa bahwa Tuhan Maha Besar, Maha Berkehendak, Maha Kuasa dan rasa-rasa lainnya. Kita paham bahwa rasa hanya muncul dari diri sendiri yang sengaja diciptakan oleh pikiran akibat dari berbagai aspek yang diterima pada tubuh. Inilah aku/ingsun/ego dengan segala rasa yang bisa dikeluarkan kemudian kita sembah menjadi Tuhan. Tuhan yang selama ini kita sembah adalah pemilik rasa yaitu diri sendiri. Kita inilah Tuhan yang kita sembah sendiri. Tidak ada apa-apa selain diri kita yang membentuk Tuhan dengan pikiran yang dibantu dengan kekuatan rasa. Sekali lagi kita menyembah Tuhan dengan rasa, dan rasa adalah aku/ingsun/ego, maka akulah Tuhan bagiku. Engkau tidak akan menyembah Tuhan yang aku sembah, dan aku tidak akan menyembah Tuhan yang engkau sembah (cuplikan surat Al Kafirun). Karena aku menyembah diri sendiri. Dan sampai kapanpun aku tidak akan menyembahmu, demikian juga kamu, sampai kapanpun tidak akan pernah menyembah aku. Kita menjadi Tuhan bagi diri kita sendiri.

                Seperti juga yang telah tertulis dalam Suluk Linglung karya Sunan Kalijaga yang menceritakan tentang perjalanan spiritual Syeh Malaya (sunan kalijaga sendiri). Dalam perjalanan laku spiritual yang berat dan panjang, suatu saat beliau bertemu Nabi Khidir di tengah laut dalam perjalanannya menuju ke Baitullah (makkah) dengan berenang, singkat kata Sunan dilarang pergi ke Baitullah (makkah) dan kemudian beliau disuruh masuk ke dalam Nabi Khidir. Apa yang didapatinya adalah ruangan yang kosong tidak bertepi, disana sini melihat tidak ada apa-apa, juga tidak tahu arah, mana yang atas mana yang bawah. Yang didapati hanyalah diri sendiri dan sebuah perasaan (rasa) yang tidak dapat digambarkan (rasa sejati) sampai-sampai beliau (Sunan Kalijaga) tidak mau keluar di dalam ruangan (kondisi) tersebut. Demikian juga dalam cerita Bima dalam mencari air kehidupan sehingga bertemu dengan Dewa Ruci, yang kemudian disuruh masuk ke dalam Dewa Ruci. Juga tidak ada apa-apa didalamnya. Hanyalah dirinya dan sebuah rasa (rasa sejati).

 Tentu saja cerita-cerita di atas dapat kita artikan dengan beragam makna. Arti yang dapat kami berikan adalah untuk mencapai Tuhan dapat ditempuh dengan masuk ke dalam diri sendiri. Kenapa harus masuk ke dalam diri sendiri? Itulah sebuah pertanyaan yang mendasar. Selama ini Tuhan yang kita yakini ternyata adalah sebuah proyeksi pikiran dan perasaan. Sedangkan pikiran dan perasaan adalah sebuah esensi yang menghambat untuk menuju pemurnian. Nah, ketika pemurnian telah terjadi maka disanalah muncul esensi yang sejati yaitu berupa ingsun/aku/ego. Aku inilah yang sampai kapanpun tidak akan terkena polusi kehidupan, kekokotoran dunia, Dialah Ingsun Sejati Yang Maha Suci yang ada pada setiap makhluk hidup dan segala sesuatunya.

  Dus, kalau diamati bersama, dalam pencapaian-pencapaian spiritual semua orang meskipun terjadi dalam keyakinan (agama) yang berbeda-beda, ujung-ujungnya adalah satu titik yaitu tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali dirinya sendiri. Semuanya kosong, tiada, suwung. Semua simbol-simbol Tuhan, agama dan keyakinan telah melebur menjadi tiada dan menyadari hanya ada ingsun/aku di dunia ini. Ke segala arah memandang semuanya kosong, tiada. dan lagi-lagi bertemu dengan ingsun/aku. Akhirnya dia berucap: tidak ada apa-apa, yang ada ternyata bukan. Maka pepatah bijak mengatakan, lebih baik menjadi diri sendiri (menjadi tuan/Tuhan diri sendiri) atau memahami jati diri daripada mengikuti sesuatu yang ujung-ujungnya juga kembali kepada diri sendiri. Jadilah manusia yang sadar sesadar-sadarnya. Wallahua’lam bishshowab. Semoga bermanfaat. Rahayu rahayu rahayu.

                Sebagai penutup Kami berikan cuplikan sebuah karya Orang Jawa tentang ingsun/aku:

INGSUN ANYAKSENI ING DZAT INGSUN DHEWE, SATUHUNE ORA ANA PANGERAN AMUNG INGSUN, LAN NYAKSENI INGSUN SATUHUNE MUHAMMAD IKU UTUSAN INGSUNG. IYA SEJATINE KANG ARAN ALLAH IKU BADAN INGSUN, RASUL IKU RAHSANINGSUN, MUHAMMAD IKU CAHYANINGSUN, IYA INGSUN KANG ELING TAN KENA ING LALI, IYA INGSUN KANG LANGGENG ORA KENA OWAH GINGSIR ING KAHANAN SEJATI, IYO INGSUNG KANG AMURBA AMISESA, KANG KAWASA, WICAKSANA ORA KEKURANGAN ING PANGERTI, BYAR … SAMPURNA PADHANG TERAWANGAN, ORA KRASA APA-APA, ORA ANA KETON APA-APA, MUNG INGSUN KANG NGLIMPUTI ING NGALAM KABEH, KALAWAN KODRATINGSUN.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar